Kooordinator Forkim, Mulyadi mengatakan proses penyusunan dan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan sektor paling rawan untuk dikorupsi. Proses ini seakan menjadi lahan basah bagi para koruptor khususnya di Kota Bekasi
Menurut Mulyadi tugas legislator dalam penyampaian pokok-pokok pikiran kepada eksekutif dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah sudah sepatutnya dijalankan secara wajar.
“Karena melihat kondisi Kota Bekasi telah diterjang Tsunami kasus korupsi pada 5 Januari 2022 yang menjerat Walikota Bekasi Non aktif Rahmat Effendi beserta beberapa Pejabat Teras Pemkot Bekasi lalu masih tertancap dalam ingatan masyarakat Kota Bekasi akan kasus korupsi berjamaah,” ungkap Mulyadi, Kamis (14/7/2022).
Mulyadi pun meminta kepada KPK untuk hadir di Kota Bekasi. Persoalan pokir (Pokok Pikiran) Anggota DPRD Tahun 2019 – 2022 karena di duga ada penyelewengan aliran dana pokir (pokok pikiran) yang dilakukan oleh Anggota DPRD kota Bekasi kami menilai bahwa DPRD merupakan Lembaga yang tidak bisa menghasilkan sesuatu yang berkualitas karena produknya buruk semua.
Mulyadi menyampaikan adanya dugaan Anggota DPRD Kota Bekasi terlibat karena kasus suap pembahasan APBD serta jual beli pengaruh. Dalam batas penalaran yang wajar, sulit terkadang ketika ingin memutus mata rantai praktik-praktik koruptif terhalang dengan pelbagai sistem dan regulasi.
“Anggota Legislatif seharusnya kalau dia itu mendiskusikan sesuatu dia harus berpikir kan tidak boleh tidak berpikir, tapi sekarang itu harus dibayar khusus ada uang pokok pikiran, memang seperti itu agak aneh pada kebijakan pokok-pokok pikiran (Pokir) Anggota DPRD. Sebetulnya, sebagian besar masyarakat tidak banyak tahu perihal Pokir. Sebab, yang diketahui selama ini oleh masyarakat hanya masa Reses, dimana para Anggota Dewan bekerja di luar gedung parlemen dengan menjumpai konstituen di daerah pemilihannya (Dapil) guna menyerap aspirasi masyarakat. Dulu, hal tersebut dikenal dengan istilah dana aspirasi,” paper Mulyadi.
Dalam perkembangannya, sambung Mulyadi, memang masa Reses ini menjadi dasar dalam pembentukan pokir di daerah. Di mana, kebijakan itu disalurkan dalam bentuk dana yang disebut sebagai dana Pokir sebagai bentuk perhatian Anggota DPRD kepada konstituennya dalam rangka percepatan pembangunan sekaligus menjaring aspirasi di masing-masing Dapilnya.
“Jika diulas secara komprehensif, dalam kerangka normanya istilah pokir ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dimana, menurut Pasal 55 huruf (a) PP Nomor 16 Tahun 2010 tersebut menjelaskan bahwa salah satu tugas Badan Anggaran DPRD adalah memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD,” terangnya.
Masih kata Mulyadi, hal itu juga tidak diindahkan oleh DPRD sebagai Lembaga representatif Daerah sebab DPRD ditamengi oleh Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tersebut. Seharusnya, Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah tersebut secara langsung harus luruh sejak diberlakukannya Putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013.
“Jika kebijakan tersebut tetap dijalankan, tentu akan merugikan keuangan negara dan anggaran yang dianggarkan juga tidak proporsional. Karena sesungguhnya kebijakan untuk mengeksekusi sebuah anggaran adalah murni kekuasaan eksekutif.secara harfiahnya tugas dan fungsi DPRD sudah jelas dalam konstitusi yaitu fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Salah satu fungsi yang seringkali mengalami benturan itu adalah fungsi Anggaran,” pungkasnya. (YD)