Oleh : Imam Trikarsohadi
Setelah sekian waktu berada di tengah-tengah atmosfir salah satu relawan politik, saya menemukan sesuatu yang menarik. Ternyata, para relawan politik bergerak dengan mengedepankan cara-cara kreatif melalui kerja-kerja teritorial, meski belum semuanya tertata dengan baik.
Mereka juga menampilkan model dukungan kreatif yakni, mengajak orang lain dengan aspek pendekatan yang amat sabar, dengan silaturahmi, dan kreatifitas lainnya, sehingga dapat menjadi daya tarik di tengah kejenuhan publik menyaksikan model dukung mendukung konservatif dan pragmatis seperti terjadi selama ini.
Melalui aksi-aksi kreatif dan partisipatif yang banyak mengandung unsur gagasan dan kekeluargaan, tentu, diharapkan dapat lebih menarik partisipasi publik yang lebih luas.
Selain itu, meningkatnya partisipasi publik juga dipengaruhi oleh peran media sosial yang mampu mengkomunikasikan program-program tersebut di akar rumput.
Dalam konteks ini relawan politik yang saya dapati, mereka bergerak melalui dua strategi yakni secara offline dan online. Alhasil, perpaduan dua gerakan yang melibatkan kelas menengah, mampu membangun fungsi lingkage antara rakyat dan calon pemimpin. Apalagi, netizen dan dunia nyata bukanlah dua dunia yang terpisah. Interaksi keduanya bersifat komplementer, sehingga membuat peran media sosial tidak dapat menggantikan peran dunia nyata.
Namun, interaksi dan komunikasi digital dapat berkembang sekaligus menjadi pertimbangan (deliberasi) publik. Artinya, relawan politik terlahir berkat sokongan media sosial yang berperan besar mendorong dalam dunia nyata. Mulai dari membangun diskursus seputar dinamika politik, hingga berkembang menjadi berbagai aksi nyata dan jalanan baik disemua lini baik tingkat lokal maupun nasional.
Memang harus diakui, dalam literatur ilmu politik, istilah kampanye kreatif masih terasa asing karena jenis kampanye yang kita kenal selama ini ada tiga; kampanye positif, kampanye negatif, dan kampanye hitam.
Kita dapat mengenal relawan dunia nyata (offline) dan relawan dunia maya (online). Di mana tujuan penggunaan media sosial oleh para nitizen adalah untuk membicarakan persoalan publik yang lebih luas, kemudian pekerjaan/organisasi baru persoalan komunitas dan urusan pribadi. Prosentasi pemanfaatan media sosial untuk kepentingan publik rata-rata 76- 100%.
Keberadaan media sosial, berperan penting dalam mendorong demos untuk mewujudkan sebuah kesetaraan, partisipasi, serta voluntarisme. Dengan demikian, wajar adanya jika pertarungan di dunia maya tidak terhindarkan—aksi saling bully maupun perang posting di jejaring sosial,seperti facebook, twitter, dan youtube, tidak terhindarkan. Inilah war of position—gelanggang pertarungan untuk memenangkan hegemoni menjadi kenyataan.
Sejatinya, ketegangan kreatif dalam dunia maya telah meminimalisir terjadinya potensi konflik terbuka. Bahkan, ia telah mengubah materi kampanye politik yang biasanya klise menjadi sangat kreatif. Bahkan, ada pula kelompok relawan politik yang sukarela meluncurkan film dokumenter animasi, game, gambar plesetan yang kocak, musik hingga online shop yang menjual berbagai pernak-pernik seputar idolanya.
Inilah esensi dari peran relawan politik dalam konstelasi politik. Hasilnya dapat dilihat, meskipun Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk dan kondisi geografis yang terpisah-pisah, tetapi kampanye kreatif yang digerakkan oleh relawan politik—mampu melahirkan kegembiraan politik atau yang lebih dikenal dengan istilah demokreatif.
Efektivitas gerakan relawan politik yang semakin masif, sekaligus sebagai konfirmasi bahwa mesin partai sudah tidak efektif lagi dalam memuluskan pasangan capres-cawapres. Pasalnya, mesin partai sulit bergerak untuk menembus langsung pada pemilih, karena sekat-sekat ideologis atau buruknya citra elit parpol atau politisi, sehingga sulit menyapa pemilih secara langsung atau bahkan merebut hati pemilih.
Sedangkan relawan politik lebih luas jangkauan segmentasi pemilih, sebab tidak terikat oleh jejaring partai politik. Apalagi, bagi pemilih pemula yang belum memahami ideologi partai politik, atau belum memahami politik secara komprehensif terutama mengenai figur politik dan capres—dapat dengan mudah berdialog pada relawan politik ketimbang kader maupun simpatisan partai politik.
Kehadiran relawan politik pada akhirnya menciptakan tradisi baru perpolitikan Indonesia yakni tradisi voluntaristik. Kehadiran gerakan sosial non-partisan ini terbukti dapat mengacaukan ekuilibrium politik yang selama ini dikuasai konsensus konservatif.
Partisipasi publik ini juga berimplikasi positif pada upaya publik untuk lebih aktif memberikan usulan model pemimpin pilihan rakyat. Salah satunya model kepemimpinan transformatif yang mau mendengar suara rakyat dan mau berada di tengah-tengah rakyat. Kerja-kerja kreatif para relawan politik telah mengubah peta kekuatan capres secara drastis, apalagi, pemilih kita lebih didominasi oleh pemilih yang dikategorikan undecided voters. (*).