“ Sebagaimana diketahui perang saat ini masih terjadi antara Rusia vs Ukraina, dan Israel vs Palestina. Dalam prakteknya perang tersebut sebenarnya sudah semakin melebar dan melibatkan beberapa negara, meskipun ada yang terlibat langsung ataupun tidak langsung. Banyak mata yang terus mencermati situasi ini dan berharap agar perang segera selesai atas dasar keinginan luhur untuk menciptakan perdamaian dan rasa kemanusiaan. Kalah atau menang dalam perang pada akhirnya akan melahirkan dendam sejarah, dan tinggal menunggu waktu kapan peperangan selanjutnya akan dimulai kembali. Disinilah pentingnya untuk terus mendorong keinginan untuk saling menghormati dan menghargai dalam berbagai forum internasional agar tercipta perdamaian dunia “, ungkap Pemerhati Keamanan Internasional Dede Farhan Aulawi di Bandug, Selasa (2/1).

Menurutnya, para investor atau pelaku ekonomi sektor riil lainnya sangat menunggu situasi keamanan global yang aman, karena pasti akan berdampak pada pencapaian target bisnisnya. Prognosa dan perencanaan bisnis akan semakin sulit dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Hal tersebut terungkap dalam obrolan santai dalam memasuki awal tahun baru 2024 antara Dede Farhan Aulawi dengan para awak media yang meminta pendapatnya mengenai perkiraan situasi keamanan dan ekonomi di tahun 2024 ini.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan dampak jangka panjang dari perang yang terjadi terhadap situasi ekonomi, perdagangan internasional, dan globalisasi . Pasca perang, biasanya banyak negara yang akan focus pada perbaikan kondisi ekonomi dan mempercepat pemulihan. Termasuk membangun kembali infrastruktur yang rusak akibat perang, dan yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi. Fakta empiric menunjukan bahwa perang tidak hanya melibatkan negara-negara saja, tetapi juga perusahaan swasta dan aktor non-negara lainnya.

Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya keterkaitan antara perang dan ekonomi di era globalisasi saat ini. Dampak perang terhadap perekonomian global, antara lain menurunkan Pertumbuhan Ekonomi karena banyak aset, infrastruktur, dan modal manusia yang dihancurkan selama perang. Selain itu, menyebabkan Inflasi karena pengeluaran pemerintah yang besar untuk membiayai perang, dan juga karenanya menurunkan produksi barang dan jasa. Hal ini dapat menyebabkan harga barang dan jasa naik, sehingga menurunkan daya beli masyarakat dan meningkatkan biaya hidup.

Lalu meningkatkan Pengangguran karena selama perang banyak orang yang meninggalkan pekerjaan atau menjadi korban perang. Selain itu, banyak perusahaan yang terpaksa tutup atau merumahkan karyawannya. Kemudian menurunkan Nilai Mata Uang karena pengeluaran pemerintah yang besar untuk perang dan ketidakpastian politik. Terakhir tentu akan memicu Penurunan Investasi.

Kondisi pelemahan ekonomi yang terjadi tidak hanya pada negara yang terlibat perang secara langsung saja, tetapi berdampak pada negara – negara yang lainnya. Lihat saja bagaimana ekonomi China yang terus menandakan tanda-tanda pelemahan, misalnya terkait dengan penjualan ritel, dan produksi manufaktur serta pertumbuhan pinjaman. Jadi China saat ini menghadapi kemerosotan sektor properti, lemahnya belanja konsumen dan jatuhnya pertumbuhan kredit yang menyebabkan bank-bank besar menurunkan perkiraan pertumbuhan mereka untuk tahun ini. Sebelumnya, pemerintah mengumumkan pengurangan separuh bea materai pada perdagangan saham, dan pemotongan pajak untuk meningkatkan sentimen investor.

Begitupun dengan Jepang, dimana angka output pabrik yang melemah dan menunjukkan kontraksi ekspor karena melemahnya permintaan global terhadap minyak ringan dan peralatan pembuatan chip. Output peralatan manufaktur semikonduktor juga mengalami penurunan.

Sementara itu negara India nampaknya akan mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan meningkatnya nilai produk domestik bruto (PDB) yang tumbuh sebesar 7,7%. Harga komoditas yang lebih rendah membantu produsen meningkatkan margin dan mengimbangi dampak kenaikan suku bunga kumulatif. Termasuk sumbangsih sektor jasa yang menyumbang lebih dari separuh output perekonomiannya, telah membantu negara dengan ekonomi terbesar ketiga di Asia ini melawan perlambatan global. Nampaknya, tantangan beratnya di sector manufaktur pakaian, sepatu, dan elektronik untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%.

“ Secara umum, meskipun prospek pertumbuhan negara-negara berbeda dan membentuk fragmentasi atau divergensi, hampir seluruhnya memiliki tekanan fiskal yang sama dengan beban utang negara-negara maju (termasuk G7) dan negara-negara berkembang diproyeksikan akan terus meningkat. Inilah yang menjadi concern dalam menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang kredibel, berkelanjutan dan inklusif, disertai kolaborasi antarnegara dalam memulihkan ekonomi dunia yang divergen. Diferensiasi pertumbuhan ekonomi terlihat bukan hanya antara negara maju (Eropa, G7, dan AS) dan negara berkembang, khususnya Asia yang memiliki resiliensi lebih baik. Ekonomi Inggris pun berusaha untuk bangkit sebagai akibat dari kombinasi krisis ekonomi dan politik “, pungkas Dede mengakhiri percakapan. (MLI)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan