“ Menghadapi dinamika tantangan tugas yang semakin kompleks, mau tidak mau program peningkatan mutu dan keterampilan dengan tujuan peningkatan kompetensi harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Perubahan saat ini berjalan dengan sangat cepat, penuh ketidakpastian dan kompleks sehingga seringkali menimbulkan kebingungan bagi para pemangku kepentingan, khususnya pelaksana tugas di lapangan. Termasuk di dalamnya masyarakat sendiri yang dihadapkan pada era double disruption yang menuntut setiap orang harus memiliki kemampuan adaptif dan eksploratif. Bukan mereka yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan mereka yang paling adaptif dalam merespons perubahan “, ujar Pemerhati Pertahanan dan Keamanan, yang juga mantan Komisioner Kompolnas RI Dede Farhan Aulawi di Bandung, Selasa (19/9).
Hal tersebut ia sampaikan saat menyampaikan pandangannya terkait dengan program peningkatan kompetensi personil Polri yang telah, sedang dan akan terus dilakukan secara berkesinambungan. Sebagai orang yang pernah mengemban tugas negara sebagai Pengawas Kepolisian, dirinya tahu persis apa yang sedang dilakukan Polri, khususnya bidang SDM dan sistem pendidikan yang terpola, berjenjang dan terstruktur sebagai bagian dari mekanisme pembinaan personil. Menurutnya, mengelola organisasi dengan jumlah hampir setengah juta personil dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia itu tentu bukan hal yang mudah, sehingga jika masih ada penyimpangan yang dilakukan oleh oknum anggota, tentu tidak mencerminkan organisasi secara keseluruhan.
“ Saat ini Polri juga terus melakukan perbaikan – perbaikan. Termasuk kalau ada oknum anggota yang melakukan pelanggaran, maka pasti akan ditindak tegas sesuai ketentuan yang berlaku. Jika oknum tersebut melakukan pelanggaran disiplin, maka akan memperoleh sangsi disiplin. Jika pelanggaran kode etik, maka sangsinya sangsi kode etik. Begitupun kalau pelanggarannya pidana, maka sangsinya pidana juga. Lihat saja fakta kasus FS, kasus TM, kasus AH, dan lainnya, dimana kasus – kasus tersebut bergulir sampai ke pengadilan. Artinya ada sikap dan tindakan yang objektif dan tegas dalam memandang suatu pelanggaran yang dilakukan oleh oknum anggota. Secara organisasi ketegasan sikap ini bisa membawa pada iklim organisasi yang semakin sehat “, imbuhnya.
Menurutnya, Polri memiliki pola pikir yang berkembang atau dikenal dengan istilah Growth Mindset. Growth mindset adalah pola pikir atau keyakinan bahwa kemampuan dasar yang dimiliki dapat terus dikembangkan dan ditingkatkan melalui semangat, dedikasi dan kerja keras. Hal ini tercermin dari model dan sistem pendidikan berjenjang yang terus dilakukan baik saat mengikuti pendidikan dasar ataupun pendidikan lanjutan di PTIK/ STIK, Sespima, Sespimen, sampai Sespimti. Termasuk jenjang pendidikan pengembangan spesialis di berbagai pusdik Polri sesuai kebutuhan dan dinamika tantangan tugas setiap satker.
Hanya saja cara pandang dalam melihat sebuah fenomena harus kritis dan objektif, sehingga tidak mudah menarik kesimpulan secara umum dari fenomena yang khusus, sehingga berkembang model – model berfikir induktif dan deduktif. Begitupun dalam konteks pembekalan kepada seluruh personilnya sesuai dengan tupoksi masing – masing satker terus dilakukan secara berkesinambungan. Meskipun tentu ada juga beberapa kendala yang dihadapi, misalnya terkait dengan keterbatasan anggaran pendidikan yang dimiliki. Sementara penugasan personil juga tersebar di berbagai wilayah. Beruntungnya dengan perkembangan teknologi saat ini, transformasi digital terus berkembang dan semakin membantu proses transfer pengetahuan yang bisa lebih berhemat. Meskipun dalam praktek, hasilnya pasti berbeda antara model pelatihan / pembinaan dengan metode offline dengan online.
Selanjutnya Dede juga mencontohkan proses investigasi dalam penegakan hukum. Jika dahulu mengedepankan ‘pengakuan terduga’ dalam proses interogasi, saat ini hal tersebut sudah tidak relevan lagi. Saat ini berkembang teknik ‘Scientific Crime Investigation’. Jadi meskipun terduga tidak mengaku, tetapi polisi harus bisa melakukan pembuktian berdasarkan investigasi kejahatan secara ilmiah. Akhirnya berkembanglah disiplin ilmu forensik, seperti kedokteran forensik, metalurgi forensik, linguistik forensik, digital forensik dan lain – lain. Kedokteran forensik pun masih terbagi lagi menjadi tiga disiplin ilmu seperti ilmu patologi forensik, ilmu forensik klinik, dan ilmu laboratorium forensik. Jadi jangan pernah memandang bahwa Polri masih menggunakan teknik – teknik lama dalam melakukan interogasi, karena faktanya terus mengembangkan teknik – teknik baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Kemudian Dede juga menambahkan terkait dengan kompetensi para tenaga pendidik (Gadik) di lingkungan kepolisian yang sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, yang menjelaskan standar kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga pendidik, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kurikulum pendidikan dan keberhasilan output pendidikan pun dievaluasi secara berkala guna memenuhi standarisasi profesi. Begitupun dengan sarana prasarana pendidikan guna menunjang pencapaian kualitas pendidikan.
Lebih lanjut Dede menambahkan penjelasan dari masing – masing kompetensi tersebut. Kompetensi Pedagogik adalah kemampuan atau keterampilan seorang tenaga pendidik dalam mengelola suatu proses pembelajaran atau interaksi belajar mengajar dengan peserta didik, misalnya terkait dengan teori belajar dan prinsip pembelajaran, pengembangan kurikulum, pengembangan potensi peserta didik, cara berkomunikasi, penilaian dan evaluasi belajar.
Kompetensi kepribadian berkaitan dengan karakter personal yang dimiliki seorang tenaga pendidik yang mampu mencerminkan kepribadian yang positif misalnya kejujuran, disiplin, empati, berakhlak mulia dan sebagainya. Juga harus mampu menjadi contoh dan tauladan bagi peserta didiknya. Sementara kompetensi profesional merupakan kemampuan atau ketrampilan tenaga pendidik dalam menguasai materi yang bisa diimplementasikan. Jadi bersifat teknis dan berhubungan langsung dengan kinerjanya. Kemudian kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam berkomunikasi, bersikap dan berinteraksi secara umum kepada peserta didik, sesama tenaga pendidik, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat secara umum.
“Begitulah pola dan model pendidikan yang ada di Polri dalam memberikan pembekalan kepada seluruh personilnya secara berjenjang dan berkesinambungan. Begitupun dengan pembekalan teknik atau metode terbaru dalam melaksanakan tupoksi masing – masing satker. Polri juga terbuka dalam menerima saran dan masukan dari seluruh elemen masyarakat yang menaruh perhatian terhadap Polri dan memiliki kompetensi di bidang yang terkait, serta memiliki komitmen yang tinggi dalam continuous improvement. Tidak ada cara yang TERBAIK, tapi pasti ada cara yang LEBIH BAIK. Terus semangat dalam pengabdian, dan jangan menurunkan kualitas pelayanan hanya karena ada yang memberikan penilaian yang kurang baik. Jadikan semuanya sebagai cambuk untuk memacu dan mengevaluasi diri agar bisa lebih baik, dan lebih baik lagi. Niatkan semua untuk ibadah, dan memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara “, pungkas Dede. (mli)