“Perang dengan segala kepentingannya selalu mengoptimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki guna memenangkan peperangan secara efektif dan efisien, meskipun dalam prakteknya satu sama lain memiliki strategi yang sama atau berbeda sehingga memenangkan peperangan dalam waktu yang singkat bukanlah hal yang mudah. Di samping penggunaan berbagai senjata, dalam perang juga ada yang dikenal dengan perang psikologis (psywar) sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk saling menjatuhkan mental/ psikologi musuh. Bahkan dalam prakteknya, di dunia politik pun sering menerapkan strategi psywar ini sebagai bagian untuk menjatuhkan mental lawan politik “, ujar Pemerhati Strategi Pertempuran Politik Dede Farhan Aulawi di Bandung, Minggu (18/2).

Menurutnya psywar (Psychological Warfare atau perang psikologis) merupakan teknik atau strategi yang digunakan dalam perang atau konflik untuk mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku orang atau kelompok tertentu dengan tujuan mencapai tujuan yang diinginkan. Teknik psywar dapat meliputi propaganda, manipulasi media, dan taktik psikologis lainnya untuk mengubah opini, kepercayaan, atau perilaku orang. Ini dapat digunakan dalam situasi perang untuk memenangkan dukungan publik atau mempengaruhi musuh untuk menyerah, tetapi juga dapat digunakan dalam situasi lain, seperti politik atau bisnis. Jadi implementasinya saat ini semakin luas, bahkan di dalam kompetisi politik sering digunakan sebagai salah satu strategi pemenangan dukungan politik sekaligus menjatuhkan mental kompetisi pihak yang dijadikan “lawan politik”.

Perang psikologis ini kadang disebut juga dengan istilah perang urat saraf karena dinilai sebagai bentuk propaganda ofensif yang dilancarkan dua atau lebih pihak yang saling bertentangan. Salah satu batasan akademiknya adalah “suatu tindakan yang dilancarkan menggunakan cara-cara psikologi dengan tujuan membangkitkan reaksi psikologis yang telah terancang terhadap pihak lain. Peperangan psikologis biasanya menjadi operasi terpisah, dalam istilah bahasa Inggris disebut PSY-OP (psychological operation). Reaksi psikologis manusia dianggap sebagai prioritas utama sasaran. Tujuan utama peperangan psikologis adalah mengubah sikap publik atau lawan agar berkurang tingkat penentangan atau militansinya.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa penggunaan taktik peperangan psikologis dalam pesta demokrasi sering dilakukan oleh para tim sukses masing-masing kandidat. Operasi psikologis dalam perang politik dianggap menjadi faktor yang menentukan untuk memengaruhi target, sistem kepercayaan, emosi, motif, pemikiran, dan perilaku. Sasaran dalam operasi psikologis bisa jadi pemerintah, organisasi, kelompok, dan individu dengan menggunakan teknologi informasi, termasuk didalamnya penggunaan berbagai media social. Dalam prakteknya psywar dapat digunakan dengan cara yang etis atau tidak etis, dan dapat memiliki efek jangka pendek atau jangka panjang yang signifikan terhadap individu atau masyarakat secara keseluruhan.

Kemudian Dede juga menambahkan bahwa dalam politik, psywar sering digunakan dalam kampanye pemilihan untuk mempengaruhi opini publik tentang seorang kandidat atau partai politik tertentu. Ini dapat dilakukan melalui iklan politik, pernyataan publik, atau strategi lainnya. Media sosial dapat menjadi alat yang efektif dalam psywar. Konten yang didesain secara spesifik dapat diposting di media sosial untuk mempengaruhi persepsi dan opini publik tentang suatu topik atau isu. Termasuk didalamnya apa yang disebut dengan propaganda, baik melalui media, seperti surat kabar, majalah, atau televisi, dan dapat juga dilakukan melalui poster, pamflet, atau brosur.

Dengan demikian, peperangan psikologis pada dasarnya bertujuan untuk mengintimidasi dan melemahkan semangat musuh. Penggunaan ancaman, propaganda, dan strategi yang lebih halus ini telah digunakan selama ribuan tahun untuk memengaruhi pemikiran musuh. Dalam prosesnya, militer dan masyarakat sipil sama-sama menjadi sasaran keganasan perang ini. Lewat perang psikologis, pihak yang dapat mengendalikan emosi dan logika atas musuh mereka akan muncul sebagai pemenang.

Lebih lanjut Dede juga menguraikan perspektif tinjauan sejarah, seperti Aztec Death Whistles (peluit maut Aztec) yang terdengar bagaikan “jeritan 1.000 mayat”, dimana peluit ini digunakan

dalam ritual dan perang masyarakat Aztec untuk melancarkan perang psikologis. Suara siulan yang menakutkan akan mematahkan tekad musuh. Begitupun dalam 36 Stratagems (36 Strategi) Tiongkok kuno tentang perang. Sebagian besar didasarkan pada seni penipuan dan menggunakan teknik psikologis untuk melemahkan niat musuh untuk bertarung. Dalam prakteknya dioperasionalkan dalam “Strategi Serangan,” “Strategi Kekacauan,” “Strategi Situasi Putus Asa,” dan banyak skenario perang lainnya. Bahkan dalam konflik antara negara Yue dengan negara Wu, Raja Goujian memerintahkan pasukan garis depan untuk memenggal kepalanya sendiri sebagai sebuah bentuk perang psikologis untuk menghancurkan semangat perlawanan dari pihak musuh.

“ Tentu masih banyak contoh – contoh lain yang bisa kita nukil dalam berbagai sejarah pertempuran. Dan medan pertempuran saat ini bisa dimaknai lebih luas lagi, seperti dalam praktek persaingan politik maupun persaingan bisnis. Jika mental pihak “lawan” sudah kalah di medan perang psikologis, maka pihak lainnya bisa leluasa mengambil sikap dan tindakan sehingga pihak “lawan” cenderung akan menyerah pasrah dan kalah “, pungkas Dede. (MLI)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan