“ Pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu cenderung terus bertambah, bahkan di kota – kota besar nilai pertambahannya cukup signifikan. Pertumbuhan yang pesat ini tentu melahirkan beberapa permasalahan baru, misalnya semakin terbatasnya lahan maka harga tanah akan semakin mahal, kemacetan lalu lintas, dan sebagainya. Dengan demikian maka mau tidak mau sebagian penduduk kota akan mengambil kawasan pinggiran kota sebagai tempat bermukim dan beraktifitas. Pertumbuhan kota yang semakin pesat ini akan berimplikasi pada meningkatnya jarak tempuh serta waktu tempuh perjalanan dalam beraktivitas sehari-hari. Hal ini mengakibatkan jumlah kendaraan bermotor yang ikut meningkat, sehingga memicu terjadinya kepadatan lalu lintas perkotaan “, ujar Pemerhati Tata Kota Dede Farhan Aulawi di Subang, Minggu (10/3).

Demikian disampaikan olehnya saat dimintai pendapatnya mengenai pertumbuhan kota satelit di beberapa kawasan kota di Indonesia. Menurutnya, hal seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya urban sprawl. Urban sprawl sendiri ditandai oleh adanya alih fungsi lahan di sekitar kota karena perkembangan kota tersebut. Karena faktor dari urban sprawl yang terus berkembang sehingga pemerintah kota tersebut membentuk suatu kawasan baru yaitu kota satelit. Pertumbuhan kota ke arah pinggir kota akan berdampak pada terjadinya transformasi kawasan, baik aspek fisik maupun aspek sosial. Fenomena inilah yang disebut dengan urban sprawl, yaitu proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (suburban/rural area).

“ Jika tidak ada pengaturan dalam pemekaran kota, maka dapat berdampak pada rusaknya morfologi kota, serta potensi munculnya kekumuhan (slump) dan permukiman liar (squatter). Kawasan berkembang di area pinggir kota (suburban) dapat dipersiapkan sebagai kota satelit yang akan berperan mendukung aktivitas kota induk. Tujuan dari diciptakannya kota satelit ini adalah untuk membagi beban kota induk akibat dari perkembangan kota yang sangat pesat di kota induk itu sendiri. Baik perkembangan di bidang ekonomi, perkembangan kota secara fisik akibat kepadatan penduduk yang meningkat “, tambah Dede.

Selanjutnya Dede mengatakan bahwa kota satelit adalah kota kecil di tepian kota besar dimana sebagian besar penduduknya memiliki dominasi aktivitas di kota besar dan dikembangkan sebagian besar oleh pihak swasta. Menilik dari keadaan kota satelit saat ini bukan hanya sebagai kota penunjang namun juga merupakan area kota baru. Hal ini diperkuat dengan adanya rancangan masterplan, hunian dan fasilitas yang sudah terbangun, diantaranya area perdagangan dan jasa, rekreasi dan olahraga, kawasan hijau, peribadatan, kawasan campuran, pemukiman, industri, dan pendidikan.

Kemudian ia juag menambahkan bahwa perencanaan kota satelit didasarkan pada tiga hal, yaitu kontinuitas (continuity), kekompakan (compactness), dan mandiri (selfcontainment). Kekompakan yang dimaksud adalah strategi pengembangan yang memanfaatkan sedikit lahan untuk menyediakan berbagai macam fasilitas, dengan memanfaatkan lahan-lahan kecil, meningkatkan kepadatan, serta menciptakan suatu sistem yang terhubung. Ada 6 faktor penting sebagai atribut kota kompak yaitu pemadatan populasi, pengkonsentrasian kegiatan, intensifikasi transportasi publik, ukuran optimal kota, kesejahteraan sosialekonomi dan proses menuju kota kompak.

Beban kota induk akan dapat terdistribusi dengan baik jika ada koneksi yang kuat antar kota satelit dengan kota induk, terutama akses transportasi publik. Konsep Transit Oriented Development (TOD) merupakan suatu gagasan yang dikemukakan oleh Peter Calthorpe terkait dengan perencanaan kawasan yang terintegrasi dengan titik transit. Pengembangan konsep TOD akan menciptakan konektivitas yang kuat antar daerah, serta dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi sehingga beban kota induk menjadi berkurang.

TOD sebagai suatu integrasi antara guna lahan dan transportasi publik untuk menciptakan pengembangan mixed-use yang relatif padat pada lahan sekitar titik transit. Dengan adanya pemusatan fungsi lahan pada sekitar titik transit, maka akan mengurangi jarak tempuh dan kebutuhan akan kendaraan pribadi. Beberapa prinsip dalam merencanakan kawasan TOD yaitu merencanakan sebuah kota dalam jangkauan pejalan kaki, memiliki suatu pusat berupa titik transit, memiliki jaringan jalan dan ruang terbuka yang berkualitas, memiliki fungsi lahan campuran (mixed use) dalam skala kawasan kompak dan padat, koneksi antar moda transportasi publik, dan mengutamakan kenyamanan dan keamanan pejalan kaki.

“ Berdasarkan lokasi dan skala pengembangan, TOD dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu urban TOD dan neighborhood TOD. Urban TOD lebih mengarah pada area pusat kota dengan intensitas penggunaan lahan yang tinggi, sedangkan neighborhood TOD merupakan kawasan pendukung dari pusat kota. Perbedaan mendasar dari keduanya ada pada persentase guna lahan kawasan. Pada urban TOD fungsi komersial akan lebih dominan, sedangkan neighborhood TOD akan lebih didominasi oleh fungsi permukiman “, pungkasnya.(MLI)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan