LINGKAR INDONESIA  (Bandung) – Istilah perang gerilya (Guerilla Warfare) sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, karena istilah ini sudah sering didengar sejak anak – anak ketika masih duduk di bangku sekolah dalam pelajaran sejarah.

Hanya saja mungkin masih sangat sedikit sekali yang memahami sejarah lebih mendalam tentang konsep dan teknik perang gerilya. Apalagi jika mengamati pergolakan politik dunia yang saat ini nampaknya semakin memanas, bahkan tidak sedikit yang memprediksi kemungkinan lahirnya Perang Dunia Ketiga (PD III).

Hal ini bukan semata – mata soal perang Rusia vs Ukraina saja, melainkan terjadinya sengketa batas wilayah di beberapa negara yang bisa memicu perang besar yang melibatkan banyak negara. Hal ini tentu sangat tidak diinginkan oleh masyarakat manapun, tetapi tidak berarti harus membuat lengah dan tidak waspada, serta harus siap berperang kapan saja jika kondisi di luar yang kita harapkan.

Demikian dikatakan Pemerhati Pertahanan Dede Farhan Aulawi kepada Media Lingkar Indonesia dalam diskusi kebangsaan di sebuah cafe Kota Bandung dalam rangka meningkatkan semangat bela negara bagi seluruh kader dan generasi muda,  Kamis (15/12/2022).

Menurut Deden, istilah Gerilya berasal dari bahasa Spanyol, yaitu “guerrilla” yang artinya ‘perang kecil’. Jadi perang gerilya ini adalah taktik perang yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi penuh dengan kecepatan oleh kelompok yang lebih kecil, sehingga hasilnya pun lebih fokus dan efektif. Penggunaan perang gerilya dalam sebuah perang menjadi langkah efektif karena dapat mengelabui, menipu, dan melakukan sabotase terhadap lawan secara kilat. Nyatanya, taktik ini sangat manjur untuk menyerang musuh dalam jumlah besar, apalagi yang tidak menguasai bagaimana medan perangnya.

Menurutnya, perang gerilya sangat membutuhkan pemimpin yang cerdas dan kemampuannya dalam menguasai topografi medan perang. Tokoh penggagas taktik perang gerilya di Indonesia adalah Jenderal Soedirman. Kata  gerilya berarti teknik serangan yang dilakukan oleh sekumpulan pejuang yang bertujuan mengganggu, melemahkan musuh dengan menggunakan cara yang mendadak, dalam mencegat atau menyergap sasaran, atau dalam memutus jalur logistik lawan dan tindakan yang serupa dengan itu.

Selanjutnya ia meneruskan penjelasannya bahwa perang gerilya yang dilaksanakan di Indonesia memiliki ciri-ciri, para pasukannya menyamar menjadi rakyat biasa, memiliki kemampuan untuk menyerang musuh secara tiba-tiba, sangat menghindari perang terbuka, dan dapat menghilang di tengah lebatnya hutan dan gelapnya malam. Inilah sebabnya dalam konsep dan teknik perang gerilya sangat membutuhkan kemampuan memahami topografi medan perang. Jadi perang gerilya ini memiliki strategi dan taktik dengan cara sembunyi-sembunyi tetapi penuh dengan kecepatan oleh kelompok yang lebih kecil, sehingga hasilnya pun lebih fokus dan efektif. Tidak hanya itu saja, untuk mencapai kemenangan pada taktik ini, pasukan harus dapat menyamar dengan alam dan memahami topografi dari medan perang.

Kemudian Dede juga menambahkan bahwa strategi perang itu ada beberapa jenis, seperti gerilya, kamikaze, blitzkrieg, sun-tzu, dan lain – lain. Apalagi dalam konsep peperangan modern yang semakin berbasis pada teknologi dan berbagai atribut persenjataannya. Setiap pilihan strategi perang akan dinilai cocok sesuai dengan situasi dan kondisi medan perangnya.  Defensif tidak dapat mengalahkan musuh, hanya offensiflah yang mampu demikian. Perang gerilja strategis hanyalah defensif. Kemenangan perang hanya mungkin oleh offensif, offensif oleh suatu tentara yang teratur, oleh suatu tentara yang setara. Defensif sekedar sementara menyiapkan dan menantikan untuk melakukan offensif pada suatu waktu.

“ Kemudian kita juga mengenal konsep perang gerilya Laut yang berbeda dengan konsep peperangan gerilya darat, meskipun dalam beberapa hal memiliki kesamaan. Jika di laut peperangan gerilya lebih dikenal dengan istilah guerre de course,  yang pada tahun 1880 dikembangkan oleh seorang perwira Angkatan Laut Perancis Jeune Ecole, dalam menghadapi supremasi Armada Inggris. Taktik yang digunakan sama dengan taktik peperangan gerilya di darat, yaitu serangan-serangan ofensif pihak lemah terhadap pihak yang kuat, dengan menghindari kemungkinan berhadapan dengan kekuatan lawan secara terbuka dan menyerang serta memutus garis atau jalur perhubungan dan logistik lawan.

Adapun kesamaan dalam perang gerilya laut  dengan perang gerilya darat terletak pada Mobilitas (mobility), bersembunyi (concealment), dan pendadakan (surprise). Sedangkan taktik yang biasa digunakan adalah hit and run atau pukul dan sembunyi (menyatu dengan alam). Pihak gerilyawan biasanya memanfaatkan medan yang sulit dijangkau dan dipantau oleh musuh (rugged terrain, empty reaches and lower depth of the ocean) dan mengenal  medan secara baik, sebagai contoh medan bawah laut “, pungkas Dede menutup diskusi.(adv).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan