LINGKAR INDONESIA (Bandung) – Pemerhati Ekonomi, Dede Farhan Aulawi mengatakan, membaca perkembangan situasi global saat ini, tidak sedikit para analis ekonomi yang menyampaikan kemungkinan terjadinya resesi pada tahun 2023. Dalam konteks prediksi, semua memang bisa saja terjadi, tetapi fundamental ekonomi setiap negara memiliki ketangguhan yang berbeda – beda.
Hal tersebut ia sampaikan saat obrolan santai sore hari di kediamannya yang asri, Senin (19/9/2022).
Dede adalah sosok yang dikenal sebagai orang yang multi talenta dan enak untuk diajak diskusi dikala ada waktu yang agak longgar. Terlebih aneka kegiatannya selama ini dikenal seabrek dengan variasi kegiatan yang banyak. Namun selalu menyisihkan waktu untuk diskusi dengan awak media dan komunitas masyarakat lainnya.
Pada kesempatan tersebut, Dede menjelaskan bahwa resesi merupakan penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh wilayah, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran. Jadi resesi adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut. Ungkapnya.
Kemudian dengan merujuk pada Business Insider, ia menguraikan bahwa ada beberapa penyebab resesi, misalnya guncangan ekonomi yang tidak terduga dan menyebabkan gangguan ekonomi yang meluas, kehilangan kepercayaan konsumen, suku bunga tinggi, dan deflasi.
Saat ini sudah ada beberapa negara yang mengalami resesi. Untuk mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi, maka Pemerintah dipandang perlu untuk mempercepat realisasi program PEN, meningkatkan konsumsi pemerintah, dan memodifikasi belanja perlindungan sosial
Dengan kata lain, tekanan inflasi dapat timbul akibat terganggunya rantai pasok nasional dan internasional akibat perubahan cuaca seperti banjir dan badai, dan juga ketidakstabilan situasi global. Meningkatnya frekuensi dan keparahan bencana alam, telah menunjukkan potensi gangguan yang nyata bahkan merusak kemajuan dalam pembangunan ekonomi.
Selanjutnya Dede juga mengatakan, sejumlah indikator perubahan iklim seperti emisi gas rumah kaca, hingga tinggi permukaan laut sudah menjadi ‘alarm’ keras untuk setiap negara agar melakukan mitigasi. Itulah sebabnya perekonomian dunia diramalkan cukup suram pada tahun 2023 mendatang.
Penyebabnya, kondisi geopolitik yang berimbas pada kenaikan laju inflasi serta risiko stagflasi. Stagflasi ditandai dengan kenaikan tajam inflasi di suatu negara. Risiko stagflasi tersebut akan dialami oleh banyak negara. Namun demikian, diperkirakan tidak terlalu banyak pengaruh bagi Indonesia. Meskipun demikian, ada efek dari perlambatan global terhadap ekonomi Indonesia. Untuk itu diperlukan kombinasi kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi bersama stabilitas yang terjaga. Ini yang disebut Bauran kebijakan progrowth dengan prostability, dibaurkan dengan kebijakan fiskal yang akomodatif dan prudent serta stabilitas sektor jasa keuangan untuk mengantisipasi berbagai ketidakpastian global yang terjadi, mulai dari risiko inflasi hingga ketegangan geopolitik.
“Kita akan mengalami volatilitas pasar keuangan pada tahun depan, yang memang akan lebih tinggi dibandingkan tahun ini. Risiko-risiko tersebut memang tidak terelakkan,” ungkap Dede.
Dia juga menambahkan bahwa ada beberapa risiko yang harus diwaspadai. Sebelumnya, dunia sudah menghadapi risiko pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir 100%. Dan saat ini ada risiko yang berasal dari ketegangan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah harga komoditas naik cepat sekali di tingkat dunia, tapi karena volatilitasnya tinggi, perencanaannya tidak mudah. Situasi ini dikhawatirkan justru akan memicu terjadinya inflasi, yang kemudian akan mendorong kenaikan harga sejumlah barang.
” Secara garis besar, fundamental ekonomi nasional masih dalam kondisi positif, namun ada beberapa risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat geopolitik di tingkat global yang harus diwaspadai “, pungkas Dede mengakhiri percakapan.(adv).