USAI sudah perhelatan Pilkada 2020, Pilkada yang di gagas oleh Mendagri Tito Karnavian dan di ketuk palu oleh Ketua Komisi II DPR RI pada RDP tanggal 14 April 2020 telah berjalan sesuai dengan jadwal dan tahapan yang ditetapkan.

Puncak demokrasi elektoral di hari pencoblosan pun sudah dilalui, hasil quick count sudah terlihat, dan rekapitulasi suara sedang berjalan, tinggal proses keberatan calon di MK (Mahkamah Konstitusi) saja yang masih harus dilewati, jika tidak ada keberatan maka KPUD akan menetapkan Kepala Daerah terpilih, setelah itu selesai sudah seluruh tahapan Pilkada serentak 2020 ini.

Beberapa tokoh mengapresiasi kerja penyelenggaraan Pilkada ini, walaupun dilaksanakan di masa pandemi tetapi dapat sukses.

Mayjen Doni Monardo, Ketua Satgas Covid-19 Nasional menyatakan tingkat kepatuhan protokol kesehatan dalam Pilkada ini ada di angka 89-96%.

Mendagri dalam satu wawancara di stasiun televisi mengatakan , jika di nilai pilkada ini dalam rentang 0-10, maka nilainya adalah 8,

Ketua Komisi II Doli Kurnia pun menilai, pilkada ini sukses di luar ekspektasi, terutama soal partisipasi masyarakat di masa pandemi ini, laporan KPU menyebut angka 75,68% rata-rata partisipasi pemilih di Indonesia, memang masih di bawah target KPU yang 77,5% tetapi masih lebih tinggi ketimbang partisipasi pada Pilkada serentak tahun 2017 dan 2018 yang berada di angka 73 dan 74%,.

Khusus di Jawa Barat dari 8 kab/kota yang melamgsungkan pilkada, hanya Kabupaten Pangandaran yang tingkat partisipasi melebihi target KPU yaitu 84%, berikutnya adalah Kabupaten Bandung 72%, Kabupaten Tasikmalaya 72%, Karawang 70%, Cianjur 67%, Indramayu 65,9%, dan terakhir Kabupaten Sukabumi dan Kota Depok yang masing-masing hanya di kisaran 60% tingkat partisipasinya, secara keseluruhan tingkat partisipasi di Jawa Barat hanya sekitar 68%, artinya meleset hampir 10% dari target KPU.

Sepintas kelihatan menggembirakan capaian ini. Dr. Idham Holik (Anggota KPU Jabar) menyebutkan, ini adalah hasil kolaborasi elektoral yang membuktikan demokrasi elektoral Indonesia itu tangguh. Idham mengkalim, ini membuktikan bahwa indonesia sudah masuk dalam negara demokrasi maju (advance state of democracy). Cerita sukses ini tentu membutuhkan biaya dan pengorbanan yang sangat besar, KPU meminta tambahan Rp 4,7 trilyun untuk membelii APD dan lain-lain untuk jajarannya, sehingga total anggaran yang digelontorkan untuk Pilkada 2020 adalah sebesar Rp 20,49 T.

Anggaran yang luar biasa jumbo itu memang sebuah konsekwensi, tapi bagaimana dengan pengorbanan-pengorbanan lain yang terjadi? sebandingkah dengan hasil yang dicapai? berapa banyak kepala daerah yang terpilih karena memang integritas dan kecakapannya atau hanya bermodal ‘tampang’ dan ketenaran belaka? sehingga sampai pada pertanyaan akhir, apakah terpilihnya pemimpin kepala daerah tersebut akan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan masyarakata 5 tahun kedepan, akan bertumbuh kembangnya demokrasi atau bahkan matinya demokrasi di daerah tersedut?.

Catatan Selama Tahapan

Kejadian pertama yang cukup mengemparkan adalah ketika 96 orang aparat Bawaslu Boyolali terpapar covid, hal ini menyebabkan kluster covid pengawas pemilu dan menyebabkan Bawaslu Boyolali nyaris lumpuh (merdeka.com 6/11), ini kemudian dinetralisir oleh ketua Bawaslu RI Abhan, bahwa kluster pengawas pemilu di Boyolali tidak akan menghambat tahapan Pemilu.

Kejadian ini bukanlah kejadian tunggal, karena setelah itu disusul hampir di semua daerah, penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu, banyak positif terpapar covid (termasuk pimpinan KPU dan Bawaslu RI). Tidak ada data resmi yang di rilis sampai saat ini, baik yang terpapar dan yang meninggal dari penyelenggra pemilu. berita yang menyeruak adalah ketika Ketua KPU Tangsel meninggal dunia karena covid, sungguh sesuatu yang sangat menyedihkan.

Di Sukabumi misalnya dua ribuan petugas pemilu dinyatakan reaktif hasil rapid test, yang mengakibatkan banyak dari mereka akhirnya mengundurkan diri dari proses pilkada, sampai kini kita tidak tahu perkembangan. Selamjutnya di Indramayu 24 petugas KPPS terpapar covid jelang hari pencoblosan (Kompas 8/12). di Jawa Tengah hampir 1000 orang petugas KPPS juga terpapar.

Sedangkan untuk calon kepala daerah, PERLUDEM mengatakan ada 6 kepala daerah yang meninggal karena Covid-19, sementara yang terpapar covid-19 sebanyak 71 orang calon kepala daerah. Sementara dari masyarakat pemilih tidak ada data sama sekali kasus yang terpapar covid karena kampanye misalnya (tentu bukan berarti tidak ada) .

Dari semua gambaran diatas menegaskan kepada kita bahwa Sungguh suatu pertaruhan yang amat mahal harganya untuk suatu momentum pilkada.

Hasil Yang di Raih

Apakah Pilkada serentak 2020 yang menghabiskan dana besar dan menimbulkan korban yang banyak itu sudah sesuai dengan harapan masyarakat, hasil quick count memang telah memumculkan para pemenang, tetapi apakah dia berkolerasi dengan kesejahteraan dan demokrasi, tentu hanya akan kita ketahui setelah 5 tahun mendatang, tetapi paling tidak ada berapa catatan menarik yang bisa kita lihat, diantaranya adalah fenomena kotak kosong, untuk pilkada serentak tahun ini ada 25 kotak kosong yang bertarung melawan petahana, dan hasilnya tidak satupun kotak kosong yang memenangi pertarungan tersebut, rata-rata kemenangan telak petahana kisaran 70-90% , yang tertinggdi di OKU selatan, kotak kosong hanya mendapat 3,9% sementara petahana 96,1%.

Fenomena berikutnya adalah bangkitnya politik dinasti dalam pilkada serentak 2020, setidaknya menurut Kompas (10/12) ada 13 daerah, yang di menangi oleh dinasti politik, mulai dari Solo, Medan, Tangsel hingga Kediri terpapar virus dinasti ini.

Sebuah laporan utama di Televisi Nasional yang tayang tgl 14 desember juga menyebutkan tentang warisan tahta suami di pilkada, suatu kondisi dimana sang petahana yang sudah tidak bisa mencalonkan diri karena sudah menjabat 2 periode, maka posisinya diganti oleh sang istri sebagai calon kepala daerah dan karena dukungan sang suami, si istri mampu memenangi pilkada, kejadian ini terdapat di Banyuwangi, Klaten, Lampung dan kota lainnya.

Pilkada serentak kali iini juga disebut sebagai bintangnya milenial karena setidaknya ada 4 calon kepala daerah terpilih yang berusia dibawah 30 tahun, bahkan salah seorang diantaranya masih beruia 25 tahun!

Dari beberapa kondisi hasil di atas, nampaknya kita dapat mengambarkan Pilkada serentak yang baru saja usai, sebuah gambaran abstraks yang masih kita tunggu hasil akhirnya, semoga para calon kepala daerah terpilih mampu menjadi lokomatif kesejahteraan di daerahnyanya, sambil membanyangkan betapa besarnya anggaran dan korban yang di timbulkan. Vivere pericoloso!

Penulis: Ali Mahyail F – Pemerhati Sosial/Anggota Bawaslu Kota Bekasi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan