Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi, MM.
Turun dari speed boat di Pelabuhan Rum Tidore, setelah 10 menit dari Pelabuhan Bastiong Ternate, kami disambut pemandu dari Dinas Pariwisata Kota Tidore. Sepanjang jalan menuju Benteng Tore, Benteng Tahula, dan Keraton Sultan Nuku, pemandu itu menceritakan sejarah masuknya bangsa Spanyol, Portugis, hingga Belanda. Bangsa Eropa itu datang ke Maltara karena terpikat rempah-rempahnya.
Tapi, sebagai anak Transmigran saya iseng-iseng bertanya tentang peran transmigrasi di Tidore. Sedikit menguji. Ingin tahu saja. Sejauh mana wawasan dan pemahaman PNS/ASN non trans yang jadi pemandu wisata itu terhadap transmigrasi. Subhanallah. Jawabnya melegakan hati saya.
Kota kepulauan dengan penduduk 110.000 jiwa itu patut bersyukur. “Di Tidore ini masyarakat mengenal lauk berupa tempe, tahu, dan sayuran karena adanya transmigrasi disini. Seperti di Maidi.” Ujarnya. Termasuk, katanya pedagang keliling dan penjual bakso, adalah warga pendatang. Mereka hidup bahu membahu, dan saling bersaudara dengan baik.
Cerita lain yang sangat menyentuh hati, ketika menjelaskan kerusuhan Ambon 1999 – 2000. Walaupun kejadiannya di Ambon, tetapi rasa ketakutan itu juga mengimbas ke Ternate, Tidore, dan kawasan Maluku Utara lainnya. Saat itu banyak warga pendatang di Tidore non muslim yang menyelamatkan diri meninggalkan Tidore. Tanah dan Rumah ditinggalkan begitu saja.
Apa yang dilakukan warga Tidore dan Pemdanya? Menjarah rumah-rumah tanpa penghuni itu? Bukan. Bahkan, mereka yang mengungsi itu sempat minta tolong tetangga muslimnya, agar membantu menjualkan barang yang ditinggalkan. Tanpa berpikir panjang, dibantu tetangganya yang muslim dan Pemda, mereka mencarikan pembeli. Setelah laku, baik cepat atau lambat, uang hasil penjualannya itu dikirim kepada pemiliknya. Ada yang sudah kembali di Jawa, Menado dan lainnya.
Masya Allah. Suatu solusi yang mengharukan. Saya tiba-tiba terbayang wajah teman-teman Transmigran yang terusir dari Aceh saat operasi GAM. Bisakah Saudaraku aktivis trans, PATRI, dan Pemda Aceh meniru langkah ini? Paling tidak, mereka bisa pulang dan mengolah kembali lahannya yang dulu ditinggalkan, dengan hati damai. (Penulis adalah Ketua Umum PATRI dan Dewan Pakar PKMS).