Oleh : Imam Trikarsohadi

Pekan Olahrga Provinsi (Porprov) XIV/2002  Jawa Barat usai sudah dengan upacara penutupan di Ciamis, Sabtu (19/11/2022). Tentu, ada banyak kisah yang terjadi selama Porprov digelar; tentang suksestori, tentang kegagalan, tentang upaya-upaya non pakem, tentang tubuh yang sakit sebab cidera atau sakit, dan seterusnya.

Saat Porprov berlangsung, saya ditempatkan di Posko KONI Kota Bekasi Wilayah Kabupaten Subang. Mayoritas cabang olahraga yang dipertandingkan adalah jenis  bela diri yang tentu saja memiliki resiko cidera lebih tinggi bagi para atlet dan pantikan emosi yang bisa jadi meledak bagi para official. Jadi, jika terjadi aneka macam gesekan di tempat ini, termasuk saat technical meeting (TM) beberapa cabang olahraga, saya kira itu wajar saja. Namanya sedang bersaing, maka harus siap di semua aspek – sejak awal.

Tapi terlepas dari persoalan tersebut, setiap hari saya mencatat diam-diam dalam ingatan saya tentang dasyatnya olahraga yang terbukti menjadi instrumen yang efektif bagi kemanusiaan. Tidak saja bagi upaya mewujudkan persahabatan, tapi juga penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Rasanya sulit menemukan sebuah event yang mengundang dan menyita perhatian banyak orang dari berbagai daerah di Jawa Barat selain olahraga. Dari lapangan pertandingan, saya menemukan fakta bahwa olahraga sanggup memelihara suasana persahabatan dalam hitungan tahun dan puluhan tahun. Ketika dunia politik masih belajar demokrasi. Tatkala dunia manajemen memerlukan berbagai regulasi dan etika tertulis, olahraga lancar-lancar saja hanya dengan kesepakatan, dan kelaziman.

Sebab itu, tidaklah berlebihan bila olahraga pada hakikatnya adalah miniatur kehidupan. Tentu pendapat ini tidak dimaksudkan untuk melakukan simplifikasi. Tapi setidaknya, esensi-esensi dasar dari kehidupan manusia dalam keseharian dapat kita temukan dalam olahraga. Ambil contoh persaingan sepanjang kehidupan, seolah manusia itu ditakdirkan untuk saling bersaing menjadi yang terbaik. Mulai awal proses terjadinya manusia, persaingan sudah nampak. Lihatlah bagaimana sel sperma bersaing dengan jutaan sel sperma untuk membuahi sel telur. Mereka bersaing, berkompetisi untuk menjadi yang terkuat dan tercepat untuk menembus sel telur. Esensi juga akan terjadi ketika anak manusia memasuki sekolah, mendapatkan pekerjaan, meraih jabatan, dan lain sebagainya.

Pendek kata, persaingan menjadi sesuatu yang tak bisa dihindarkan dalam kehidupan manusia, dan esensi tersebut menjadi ciri utama dari olahraga, yaitu kompetitif. Barangkali dalam keseharian adalah hal biasa, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana ketika orang atau sekelompok orang berkompetisi dilakukan secara fair, mematuhi aturan main yang ada, dan menjunjung tinggi nilai moral dan keadilan.

Bersaing hanya di arena

Saya memang sangat menyukai olahraga permainan, tapi kesukaan itu  tidak mengurangi hasrat saya terhadap olahraga tinju. Maka, sepanjang Porprov XIV/2022 Jawa barat, saya begitu intensif memantau laga cabang olahraga tinju.

Awalanya memang karena penugasan dari kepala Posko, tapi ketika sudah berada di arena, saya menangkap sesuatu yang spesial dari orang-orang yang terlibat dalam olaharga tinju, apa itu?.

Para atlet tinju, tentu, saling baku pukul diatas ring untuk membuktikan diri sebagai yang terbaik. Beberapa diantaranya sampai terjungkal mencium kanvas.

Tapi mayoritas petinju yang terlibat, yang begitu saling menyakiti di atas ring, berubah ketika sudah diluar ring. Ada begitu banyak diantara petinju yang dalam beberapa menit sebelumnya saling hantam, lalu, saling berangkulan dan bersenda gurau saat diluar ring. Bahkan, banyak diantaranya sudah saling mengenal sejak lama.

Perilaku yang ditunjukkan para atlet tinju jelas memperlihatkan semangat kompetitor sejati. Andai saja mereka hanya berorientasi pada kemenangan, bisa saja mereka saling tak bertegur sapa saat diluar ring.

Di tengah carut-marutnya kehidupan bermasyarakat dan berbangsa sekarang ini, dimana semua orang bersaing merebut kekuasaan, jabatan, pengaruh, dan lainnya. Rasanya diperlukan orang-orang seperti para atlet tinju Porprov XIV/2022 Jawa Barat. Sosok-sosok yang tidak haus dengan kemenangan  dengan menghalalkan segala cara.

Para atlet tinju yang saya pantau selama Porprov Jawa Barat adalah orang-orang yang sepak terjangnya menjungjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan. Tapi tentu, untuk mewujudkan semua itu, diperlukan individu-individu yang berkarakter dan memegang teguh nilai-nilai. Dalam kontek inilah olahraga menjadi bagian penting, sebagai satu instrumen pembentukan nilai dan karakter.

Olahraga mengajarkan pada seseorang akan kedisiplinan, jiwa sportivitas, tidak mudah menyerah, mempunyai jiwa kompetitif yang tinggi, semangat bekerja sama, mengerti akan adanya aturan, berani mengambil keputusan. Pendek kata, olahraga akan membentuk manusia dengan kepribadian yang sehat. Ini relevan dengan pemikiran Baron Piere de Coubertin, penggagas Olympiade moderen bahwa tujuan olahraga terletak pada fungsinya.

Olahraga juga membina manusia menuju kesempurnaan seperti tercermin dalam motto;  Citius, Altius, Fortius, telah diakui dunia sebagai Olympic Movement. Citius, sesungguhnya tidak hanya diartikan sebagai lebih cepat atau tercepat, seperti terekam pada prestasi seseorang atlet dalam berlari, namun makna sesungguhnya menunjukkan kualitas mental seseorang mampu mengambil keputusan lebih cepat dan lebih cerdas. Makna Altius, bukan pengertian lebih tinggi atau tertinggi mencapai prestasi, misalnya lompat tinggi atau lompat galah dalam atletik, namun merujuk pada moral yang lebih luhur atau mulia. Demikian pula Fortius, bukan pengertian lebih kuat atau terkuat terkuat dalam prestasi olahraga angkat berat misalnya, tetapi menunjukan kualitas pribadi yang lebih ulet dan tangguh.(*)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan