Oleh : Ir. Sunu Pramono Budi.MM
Saat pulang dari Provinsi Jagung (Gorontalo), awal Juni 2016, saya terngiang Kampung Jaton, Jawa Tondano. Tahun 1829 Kyai Mojo dan 63 pasukannya, semua laki2, diasingkan disekitar Danau Tondano. Rombongan prajurit bujangan itu kemudian nikah dengan gadis setempat (lolombulan). Ada yang dari fam Rumbayan, Lengkong, Tombokan, Tumbelaka, dan lainnya. Dari pernikahan itu kemudian beranak pinak menjadi komunitas baru, Jaton. Ada fam Baderan, Sataruno, Pulukadang, Mojo, Kyai Demak, dan lainnya.
Kiyai Mojo adalah satu dari pelaku Perang Diponegoro. Setelah tertangkap diasingkan di Tondano. Mengapa Perang Diponegoro hanya bertahan 5 tahun (1825-1830)? Itu yang perlu kita cermati. Setelah mengalami kesulitan, Belanda menggunakan siasat benteng stelsel. Persatuan pasukan Diponegoro dipecah-belah, dilokalisir, dan kemudian kawasan yang sudah dikuasai itu dibuat benteng pertahanan. Karena terpecah-belah dan terjepit, maka satu persatu perjuangan itu mudah dilumpuhkan. Itu persis yang dilakukan gerombolan serigala, hyena, anjing liar, atau singa saat menangkap binatang buruannya. Mereka dipisahkan dari kelompok besarnya, dan setelah terpojok satu persatu dimangsanya.
Apa kaitannya dengan Transmigrasi kita? Mari kita renungkan. Dengan dalih dan tekanan globalisasi, seakan bawah sadar kita dipaksa masuk lorong lokalisasi. Jika dulu ruh transmigrasi adalah upaya/gerakan memperkukuh persatuan Indonesia, maka saat ini ruh itu berganti. Merasa berat menerima saudaranya warga pendatang, mengutamakan lokalitas, mono etnik, memberi karpet merah kepada HGU perkebunan, dan tanpa disadari membangun sparatisme terselubung. Astaghfirullah.
Apa yang terjadi? Tentu, setelah itu Indonesia ini akan kembali seperti masa sebelum kemerdekaan. Pemerintahan lokal kecil-kecil, terlalu percaya diri, padahal rapuh. Jika lengah, skenario berikutnya, dengan mudah kekuatan besar Super Power datang dan mencabut kedaulatan kita satu persatu. Ngeri.
Itulah yang sejak dulu dikuatirkan para Pendiri Bangsa ini. Siapa yang untung, siapa yang rugi?
Gerakan Transmigrasi, akankah mati….???.
(Penulis adalah Ketua Umum DPP PATRI/ Dewan Pakar PKMS).