Oleh: Mahmud Hasani)*
Sahabat PATRI, ini memoriku sebagai Anak Transmigran. Kenalkan. Nama Mahmud Hasani. Saat ini menjabat sebagai Kepala Desa (Kades). Saya anak ke 3 dari 7 bersaudara.
Tahun 1983 kami sekeluarga ikut Transmigrasi ke UPT Parenggean SP-4/IG di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah (Kalteng). Waktu itu usiaku 14 tahun, kelas 1 Madrasah Tsanawiyah (MTs/setingkat SMP) di Kalipucang, Kabupaten Ciamis. Ketika itu bertepatan ada bencana alam meletusnya Gunung Galunggung.
Saat tiba di Kalteng ketika itu musim kemarau. Lokasi trans sangat gersang dan tandus. Daerahnya berupa perbukitan. Seperti tidak ada kehidupan. Air minum susah didapat. Ini seperti halnya cerita awal kehidupan Transmigran lainnya. Makan tiap hari dengan ikan asin jadup. Suhu terik, menyebabkan kita cepat haus. Sayuran tidak ada, karena susah untuk bercocok tanam. Paling-paling untuk sayuran kita cari daun sintrong di pinggir hutan.
Setahun kemudian ada perubahan. Alhamdulillah bisa tanam singkong, sayur, palawija/padi gogo, dan lainnya. Ketika tanaman tumbuh itu, ada asa dan harapan menatap masa depan. Hasil pertanian tadi kita jual ke Pasar. Tetapi kondisi kendaraan transportasi tidak ada. Terkadang kita ikut mobil perusahaan penggergajian kayu. Jarak dari rumah ke pasar 12 km dengan kondisi jalan berupa tanah merah. Kebanyakan warga memasarkan hasil pertanian di pagi hari. Jalan kaki sambil memikul barang dagangannya. Disisi kanan dan kiri masih berupa hutan. Terkadang dijalan ketemu beruang babi dan orang utan. Di sekitar kimtrans itu warga setempat sangat ramah kepada warga Trans. Saat itu terkadang kita masih barter.
Pada tahun 1985 saya melanjutkan sekolah di SMP yang dikelola oleh Ka. UPT. Belajar mengajar tidak teratur, karena gurunya kurang maksimal. Setelah setahun kemudian semua muridnya dipindahkan ke SMPN 1. Lokasi SMP di kota kecamatan. Jarak 12 km. Kita sekolah kadang jalan kaki kadang naik sepeda. Anak-anak berangkat ke sekolah jam 5 pagi.
Pada 1986 lulus SMP. Kemudian melanjutkan ke SMA di Kota Kabupaten Kotim. Jarak dari kimtrans 245 km. Dari rumah ke kota kab naik klotok (perahu kayu bermotor), selama 12 jam. Saat itu ongkosnya Rp 3.000, plus diberi makan. Keadaan kota kabupaten saat itu masih belum maju. Belum ada mobil umum. Yang ada hanya mobil pejabat. Tapi becak banyak. Sekarang Kabupaten Kotim pembangunannya sangat maju pesat.
Saya sekolah sambil bekerja. Sepulang sekolah bekerja ikut orang membuat minuman rasa temu lawak. Terus saya jajakan ke warung-warung kecil. Harganya Rp 25 perbotol. Kerja ini berlangsung kurang lebih 2 tahun. Setelah itu, Alhamdulillah ada orang yang sangat baik hati. Saya diangkat jadi anaknya. Makan dan kebutuhan sekolah dijamin oleh orang yang sangat dermawan itu, sampai tamat sekolah taun 1990.
Setelah tamat sekolah saya pulang ke rumah di lokasi transmigrasi. Ternyata perkembangannya belum ada tanda-tanda kehidupan yang cerah. Saat itu saya bekerja membatang, yaitu mengambil kayu glondongan di hutan, kemudian dijual. Terkadang ikut mendulang emas.
Pada 1991 saya menikah. Tahun 1992 punya anak pertama seorang perempuan. Kini usianya 27 tahun. Namun cacat, tidak bisa bicara (seperti bayi). Semua keperluannya dikerjakan oleh ibunya.
Akhir tahun 1992, saya ditawari pindah ke lokasi transmigrasi pasang surut. Tempatnya di Kuala Pembuang, Kabupaten Seruyan. Di lokasi baru, karena daerah pasang surut, sering banjir. Kadang susah bercocok tanam. Kondisi geografis kimtrans di UPT/ Unit ll Kuala Pembuang bila musim hujan becek. Fasilitas umum yang ada hanya fasilitas yang dibangun saat awal transmigrasi.
Untuk mencukupi nafkah, saya bekerja di perusahan penggergajian kayu. Upahnya Rp 75 perbulan. Tapi tak lama keluar. Saya mencoba belajar mandiri. Berniat sungguh-sungguh bertani sayur dan padi. Alhamdulillah, ada perubahan. Padi disimpan sebagai cadangan makan, sayur dan palawija dijual ke pasar. Alhamdulilah ekonomi cukup untuk memenuhi kebutuhan 4 anak dan istri.
Pada 2008 kimtrans menjadi desa definitif. Saya mencalonkan kepala desa (kades). Namun sebelumnya saya pernah menjadi Wakil Ketua RT, jadi RT, anggota BPD, dan jadi ketua BPD. Pernah juga jadi ketua karang taruna. Saat mencalonkan kades, saya terpilih. Masa jabatan 2008 – 2015. Setelah tugas selesai, warga minta lagi agar mencalonkan lagi. Duduk lagi periode kedua, 2015 – 2021.
Selama 12 tahun menjadi kades, saya bangun fasilitas umum desa. Semua jalan lingkungan sudah tersemenisasi. Jalan menuju kebun pertanian sudah 60 % terbangun semenisasi. Poskesdes, balai desa, kantor desa, pasar desa, TK, TPA, sarana bermain, taman wisata desa, sudah terbangun. Termasuk kendaraan Ambulan desa, sarana ibadah mesjid dan musholla, cukup megah. Jalan penghubung antar kota sudah melintasi desa Bangun Harja dengan aspal yang sangat mulus. Listrik terang benderang dimalam hari. Semua warga hidup berkecukupan, karena potensi desa sangat mendukung. Alhamdulillah, banjir tidak ada lagi. Pemerintah sudah banyak membuat kanal kanal. Desa Bangun Harja juga dapat predikat desa Sangat Maju dan desa percontohan di Kalteng. Selain itu Desa Bangun Harja sebagai desa penghasil pisang kepok terbesar di Kalteng.
Alhamdulillah, dengan kerja keras ekonomi sudah lebih dari cukup. Anak-anak dapat kuliah dan sekolah. Anak kedua sudah lulus perguruan tinggi, anak ke 3 baru semester 5, dan si bungsu klas 9 SMP.
Saya ceritakan ini bukan niat takabur. Tetapi sebagai motivasi. Dengan niat tulus, berdoa, ikhtiar, beramal, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Sang Maha Pencipta, segala permasalahan kita akan ada solusinya. Insha Alloh rejeki kita akan bertambah dan diberi umur panjang. ” HIDUP untuk BERAMAL”
(Penulis adalah mantan Kepala Desa Bangun Harja F2 Seruyan Hilir Timur, Kabupaten. Seruyan, Provinisi Kalimantan Tengah, dan kini caleg DPRD Seruyan dari Partai Demokrat).