Oleh : Surinto
Saat itu, akhir tahun 1981, begitu berapi-apinya petugas dinas transmigrasi, didampingi Muspika Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur meyakinkan bapak-bapak kami.
“Nanti di tempat tujuan sudah tersedia semua fasilitas. Ada pasar, sekolahan, puskesmas, dan lainnya. Bapak-bapak tidak usah khawatir. Mau cari rumput yang lebih hijau lebih mudah (ungkapan orang Jawa mencari rezeki lebih baik di rantau).” Kalimat itu masih melekat dalam ingatan saya.
Sejatinya saudara kami hanya 1 KK yang awalnya berniat ikut transmigrasi. Tetapi berkat kehebatan Bapak Petugas penerangan meyakinkan, maka akhirnya 7 saudara kandung ibu berangkat transmigrasi. Lokasi yang dituju unit permukiman transmigrasi (UPT) Sebamban 6 SP 2/blok B Kecamatan Kusan Hulu, Kab Kotabaru (sebelum mekar). Ini merupakan rekor jumlah bersaudara sekaligus berangkat transmigrasi yang belum terpecahkan.
Proses keberangkatan. Dari Magetan ke Surabaya 6 jam kendaraan darat. Surabaya ke Banjarmasin, pesawat terbang Hercules 1 jam. Dari Banjarmasin ke Sebamban 10 jam kendaraan darat.
Setelah sampai di UPT Sebamban, suasana riuh. Gaduh, panik, bingung, dan risau menuju rumah masing-masing, sesuai nomor undian.
Bagaimana tidak risau. Mau masuk ke rumah, ternyata di dalam rumah tumbuh ilalang setinggi dada. Rumahnya hanya separo yang dilantai papan. Justru di kolongnya dipakai rumah babi hutan. Si celeng yang saya tahu sebelumnya hanya dongeng dari kakek.
Ada peristiwa yang mengharukan. Ada diantara ibu-ibu kami yang kesulitan melahirkan. Sehingga harus ditandu 10 km menuju sungai, dan kemudian naik ketinting (jukung bermesin tempel) selama 6 jam untuk mencapai puskesmas terdekat. Nama lokasi puskesmas itu di Pagatan. Ibukota kecamatan lokasi UPT.
Waktu terus berlalu. Kami yang sudah lulus SD harus sabar. Bapak KUPT mencarikan solusi agar kami bisa sekolah SMP. Tak lama kemudian berdirilah SMP Sebamban Lasung. SMP itu terkenal dengan nama SMP 24. Jadwal masuk jam 2 (14.00), dan pulangnya jam 4 (16.00).
Di sekolah itu pelajaran lebih banyak dihabiskan di jalan. Belajarnya hanya 2 jam, tetapi jalan kaki pulang pergi ke sekolah 3-4 jam. Teman-teman dari SP tetangga menghabiskan waktunya di jalan.
Suatu malam mulai gelap, saya mengobrol dengan Ayah (sekarang Alm). Kata ayah, keadaan ini persis saat jaman Jepang. Kami seperti diajak hidup mundur 40 tahunan. Sepeda tinjak masih barang mewah, seragam sekolah baju seadanya tanpa alas kaki. Gurupun seadanya. Siapapun yang mau jadi relawan, bisa. Mulai dari PPL, pembina transmigrasi, hingga mantri kesehatan. Semua boleh mengajar.
Setelah dewasa, kami baru menyadari. Betapa berharganya pengalaman masa lalu itu. Sehingga tak putus-putusnya kami ucapkan Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Terimakasih juga kepada Bapak-bapak, ibu-ibu, dan para guru. Karena berkat jasanya kami berhasil mengatasi kesulitan.
Beratnya kehidupan, rasa sedih, perih, dan kerasnya bantingan keadaan, semuanya sebagai proses pendidikan kehidupan (tarbiyah). Menjadi anak Transmigran, seperti sedang mendapatkan mata pelajaran di sekolah kehidupan. Hal itu sangat berharga bagi kami. Sehingga kami menjadi kuat jiwa raga, menjadi tajam penghayatan, dan menjadi berani menghadapi kehidupan.
Alhamdulillah hari ini apa yang disosialisasikan Bapak petugas transmigrasi 40 tahun silam semua sudah terwujud. Bahkan lebih dari itu, semua fasilitas kini sudah tersedia. Di SP2 kini sudah berubah menjadi desa definitif. Bernama Desa Girimulya, dan menjadi ibukota Kecamatan Kuranji.
Saat ini (2020) juga sudah ada SDN hingga SMAN. Ada pasar representatif, jalan aspal mulus, dan bahkan sudah ada ATM yang tadinya tak pernah dijanjikan.
Selain itu, dari aspek SDM Alhamdulillah dari UPT Sebamban 6 sudah menyumbangkan:
✓Beberapa Guru tersebar di Provinsi Kalsel
✓Ada 4 anggota DPRD Kabupaten Tanah Bumbu
✓ Ada 1 orang anggota DPRD Provinsi Kalsel
✓ Beberapa pejabat di Pemkab Tanah Bumbu
✓ Beberapa anggota TNI
✓Beberapa pengusaha sukses, dan pimpinan perusahaan besar di Surabaya.
Bagi kami Transmigrasi bukan sekedar pindah penduduk, tapi Hijrah. Transmigrasi itu Tarbiyah/kawah candradimuka. Transmigrasi itu ksatriyan.
Bagi saya, menjadi Anak Transmigran adalah takdir yang membanggakan.