(Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
(Sebuah renungan Hari Pendidikan)
Satu-satunya pertarungan hidupku terberat adalah masuk kuliah di Institut Teknologi Bandung, di masa lalu. Kedua orang tuaku adalah “Oemar Bakri” alias guru. “Korupsi” terbesarnya saat itu hanyalah membawa sisa kapur tulis bekas dari sisa mengajar. Saat itu mengajar masih dengan papan tulis dan kapur tulis. Kemiskinan guru, sebagaimana dinyanyikan Iwan Fals, meski 40 tahun mengabdi, akan tetap miskin, meskipun banyak mendidik orang-orang menjadi sukses.
Doktrin guru kepada anaknya selalu sama. Mereka mengatakan bahwa tiada warisan yang akan diberikan pada anak, kecuali pendidikan. Orangtua saya selalu mengatakan satu-satunya yang kami wariskan pada anak-anak adalah ilmu. Itu memang demikian karena kemiskinan keluarga guru menjerat mereka pada kehidupan “tambal sulam”, alias hidup menghutang sebelum akhir bulan, lalu potong gaji awal bulan. Doktrin itu pulalah yang memberi spirit, meski tanpa bimbel/les dan hidup dalam kemiskinan, aku harus masuk ke Perguruan Tinggi.
Pada tahun ketika saya merantau di Belanda, istri saya bercerita bahwa teman akrabnya bermarga De Tang. Temannya itu lulus kuliah D3, lalu lanjut di Kedokteran Leiden University. De Tang tidak bisa langsung S1, karena sistem SMA nya pilihan non universitas, tapi setelah D3 bisa ke universitas dengan syarat memenuhi beberapa matakuliah terkait. Memang kemudian dia menjadi dokter.
Yang mau saya ceritakan adalah bahwa marga De Tang itu marga kaum buruh. Hidupnya sulit untuk ukuran keluarga di Belanda. Tapi, sistem pendidikan mereka mempunyai peluang yang sama untuk anak buruh maupun non buruh. Bahkan, untuk kuliah kedokteran, yang sangat mahal. Kita jangan bayangkan anak orang miskin bisa menjadi dokter di negeri ini?
Bagimana sistem pendidikan menjadi monster bagi orang-orang miskin?
Sistem pendidikan kita saat ini menjadi alat untuk mereproduksi orang-orang kaya menjadi elit dan orang-orang miskin tetap menjadi jongosnya. Kita mulai dari ditangkapnya Rektor Universitas Lampung dan jadi tersangkanya Rektor Udayana karena menjual kursi mahasiswa pada penerimaan mahasiswa baru. Peristiwa ini hanyalah fenomena “gunung es”. Kita melihat gaya sadis rektor-rektor tersebut mendagangkan pendidikan. Tapi dalam dataran yang tidak terlihat, “perdagangan kursi” masuk mahasiswa itu terjadi dalam dua fenomena, yakni membuat program-program khusus berbiaya mahal, baik biaya sumbangan yang mahal maupun biaya kuliah mahal. Porsentase penerimaan mahasiswa sejenis ini semakin marak dan pastinya diarahkan untuk orang-orang kaya.
Fenomena kedua adalah mempertahankan tingkat kompetisi yang tinggi pada ilmu2 sainstek dan jurusan favorit lainnya dengan jumlah penerimaan mahasiswa sedikit, sedangkan jurusan sosial ataupun non favorit dengan jumlah banyak, sehingga orang-orang kaya yang mampu membayar bimbel atau kursus-kursus privat supermahal berhasil lolos seleksinya.
Struktur dan hierarki pendidikan yang pada akhirnya akan menseleksi anak orang-orang kaya lolos dalam pertarungan di atas, pada akhirnya merembes ke sistem pendidikan di bawahnya. Anak-anak sekolah SD-SMP-SMA, yang orangtuanya berkeinginan anak-anaknya terseleksi di universitas, sudah mengalokasikan kekayaannya membiayai sang anak. Baik memberikan bimbel-bimbel maupun kursus privat maupun mengatur agar anaknya lolos ke sekolah favorit. Di Jakarta Selatan misalnya, SMA 8, SMA28 dan SMA 26, yang menjadi incaran level SMA, maka untuk SMP orang tua harus bertarung memasukkan anaknya pada SMP unggul terkait, seperti SMP 115 Tebet.
Anak-anak orang miskin tentu saja semakin tersingkir dari sekolah sekolah unggul (atau menjadi unggul). Karena, pertama mereka tidak melihat bahwa mereka adalah bagian pertarungan yang ada, untuk bisa masuk ke universitas unggul. Kedua, biaya pendidikan (khususnya ekstensinya membayar bimbel/les mahal) tidak mungkin lagi dipenuhi mereka.
Khusus terkait mahalnya biaya bimbel/les privat, hal ini terjadi karena guru tidak lagi menjadi jaminan bagi kualitas ilmu yang penting untuk pertarungan ujian ke Perguruan Tinggi. Di negara maju, bimbel-bimbel nyaris tidak ada, karena guru sudah melebihi cukup dalam memberikan ilmu bagi siswa.
Anies anak “Oemar Bakri”
Akar persoalan pendidikan kita adalah problem guru. Indonesia harus bisa mempunyai jumlah guru yang banyak dan berkualitas. Semakin banyak guru berkualitas dan semakin menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, maka tingkat kecerdasan siswa akan merata. Jika guru-guru berkualitas mengisi sekolah-sekolah mampu memberikan ilmu yang cukup, maka pendidikan tambahan seperti bimbel-bimbel yang mahal tidak diperlukan lagi. Akhirnya, setiap anak mempunyai kesempatan yang sama untuk masuk ke perguruan tinggi.
Anies Baswedan melihat persoalan ini dengan jeli. Dalam “Indonesia Mengajar”, Wikipedia, disebutkan Anies melihat problem guru adalah problem utama itu. Sehingga Anies melancarkan gerakan guru-guru muda untuk terjun ke desa desa. Guru-guru muda ini mengabdi agar anak-anak di pelosok-pelosok nusantara bisa mengejar ketertinggalan.
Dari Wikipedia tersebut disebutkan Aceh Singkil sampai Pegunungan Bintang Papua merupakan bagian dari 38 Kabupaten yang didatangi guru Gerakan Indonesia Mengajar. Ribuan guru-guru tersebut bertarung untuk memajukan pendidikan nasional.
Kejelian Anies ini tentu saja berakar dari nasibnya sebagai anak guru (Oemar Bakri kata Iwan Fals). Bapaknya dosen UII dan ibunya dosen UNY. Sebagai anak guru Anies faham bahwa pendidikan hanya bisa diatasi jika guru tersedia. Tentu saja persoalan besar lainnya dalam sistem pendidikan kita banyak menanti penyelesaian, seperti, anggaran pendidikan, “link and match” pendidikan dengan dunia kerja, tanggung jawab orangtua murid dlsb.
Namun, dengan fokus pada persoalan guru dan penyelesaiannya, maka setengah persoalan akan selesai.
Tantangan guru ke depan memasuki fase lebih sulit lagi dalam era digital. Selain urusan gaji dan kesejahteraan lainnya, gru harus dipompa kompetensinya. Bagaimana meng kolaborasi “Chat gpt, chat bot, Bing Microsoft” dan semua internet of things dalam sistem pendidikan kita? Guru yang sejahtera dan melek IT akan membuat adanya kehormatan pada kehidupan guru. Dan Anies, sebagai anak guru pasti faham mengatasi hal ini.
Renungan Penutup
Spektrum persoalan pendidikan kita begitu besar dan dahsyat. Pendidikan sangat mahal dan hanya memproduksi orang kaya semakin unggul, karena mereka mampu membiayai keperluan pendidikan anak-anak mereka, seperti bimbel-bimbel privat dll. Ini dengan asumsi pertarungan murni, bukan membeli kursi masuk Perguruan Tinggi sebagimana kasus di Universitas Lampung dan Udayana serta lainnya.
Di Belanda, misalnya, anak orang miskin bisa lulus menjadi dokter dari Leiden University. Kenapa, karena guru di sekolah sudah cukup pintar menjadikan anak pintar, tidak perlu bimbel. Kualitas guru top. Tentu kesejahteraan guru tinggi. Pendidikan juga tidak mahal, menjangkau semua kalangan. Negara mengintervensi sehingga biaya pendidikan murah.
Dalam tulisan ini kita fokus pada guru. Kita renungkan jika jutaan guru-guru di Indonesia menyebar dengan semangat pengabdian tinggi, tentu karena kesejahteraan tinggi, maka seluruh pelosok akan mempunyai pendidikan berkualitas. Sekolah sekolah menjadi pusat mobilisasi vertikal orang-orang miskin bisa sekolah tinggi.
Problem ini ditemukan Anies Baswedan sebagai problem pokok. Anies mendirikan Gerakan Indonesia Mengajar. Mencetak guru-guru ribuan guru dan disebarkan keseluruhan Indonesia. Merujuk pada Ki Hajar Dewantoro, Anies menegaskan sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan.
Itulah gunanya Anies Baswedan, anak seorang guru. Dalam buku “Anies Baswedan, Anak Guru yang Mengubah Guru” Karya Sismono La Ode ditegaskan hal itu, karena Anies anak guru dia mendapatkan inspirasi memajukan pendidikan di Indonesia.
Semoga ditangan Anies Baswedan, anak si “Oemar Bakri”, jika Allah mengijinkan jadi presiden 2024, guru-guru hidup sejahtera, pendidikan maju dan untuk semua orang. Dengan begitu orang-orang miskin dapat sekolah tinggi, menjadi dokter atau lainnya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!.(*).