Oleh : Imam Trikarsohadi)*

Jika bulan ramadhan tiba, dan dengan situasi dimana anak-anak sudah dengan jalan perjuangan hidupnya masing-masing,  maka, saat berbuka puasa maupun sahur, terbit suasana yang terbilang sepi. Tapi itulah kehidupan yang terus berputar dan silih berganti suasana.

Mungkin itu pula yang dirasakan orangtua dulu, ketika kami sebagai anaknya mulai menjelajahi rute jalan kehidupan  masing – masing, terutama saya, karena selepas SMA sudah merantau untuk melanjutkan kuliah dan selanjutnya seperti tak ada jalan kembali ke kampung halaman. Tipe pekerjaan yang saya geluti, selain tak berada dalam satu tempat, juga acapkali harus merenggangkan jarak yang semakin menjauh, bergonti – ganti lokasi serta tak jarang  harus menyeberangi samudera.

Kini, disaat usia yang semakin menua, pelbagai memori ramadhan sewatu kanak-kanak, hilir – mudik dan  silih berganti menghampiri. Apalagi menjelang ramadhan kali ini, saya bersama adik-adik yang tersisa – berkesempatan ziarah ke petilasan kedua orang tua dan para leluhur di Cirebon. Maka, situasi itu seolah semakin menajamkan ingatan akan kasih sayang orang tua dan pelbagai nilai – nilai yang diajarkannya.

Masih cukup lengkap ingatan bagaimana ayah  sejak saya kanak-kanak selalu membawa serta tarawih dan tadarusan di masjid, meski dengan resiko harus menggendong saya pulang ke rumah oleh sebab terlampau sering tertidur di masjid.

Ketika saya duduk di bangku sekolah dasar Tahun 1970 -1976, setiap bulan ramadhan, selepas sholat ashar, ayah selalu membawa/ membonceng saya bersepeda nggulati maghrib (menunggu waktu berbuka puasa) untuk bersilaturahmi ke paman-paman ayah yang sebagian besar adalah kyai atau kerabat keraton.

Di sepanjang perjalanan, ayah biasanya memulai wejangannya, baik soal bahasa bebasan (kromo inggil/ bahasa halus) saya yang belum sempurna maupun nilai – nilai tata krama yang di Cirebon dikenal dengan istilah  andhap asor.

Bahasa bebasan  adalah bahasa halus Cirebon yang lazim dipergunakan kalangan terpelajar, para keluarga  tokoh agama maupun kerabat keraton. Bahasa jenis ini terutama digunakan saat berkomunikasi dengan orang tua atau orang yang lebih tua, serta keluarga inti.

Ayah juga tak pernah bosan untuk menanamkan andhap asor – standar perilaku dan akhlak ketika sedang berkomunikasi dan berhubungan dengan siapapun, termasuk ketika sedang beribadah. Sumbernya tentu berasal dari ajaran Agama dan menjadi pedoman bertingkah laku.

Nilai terdalamnya adalah mengajarkan kebaikan untuk kehidupan. Pesan-pesan utamanya mengandung ajaran moral yang adiluhung bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai andhap asor mengajarkan agar membangun relasi dengan Tuhan secara memadai dan juga relasi sosial yang memadai.

Sebab itu, kalangan kiyai dan kerabat keraton di Cirebon, termasuk Ayah saya, mengajarkan prinsip filsafat kehidupan yang disebut sebagai andhap asor. Atau prinsip tradisi yang bersubstansi pemahaman, sikap dan tindakan yang bercorak sopan santun. Prinsip ini bertali temali dengan substansi ajaran tentang bagaimana seharusnya perilaku kita atas orang lain. Prinsip ini mengajarkan tentang ojo adigang adigung adiguna, ojo gumedhe, ojo dumeh dan sebagainya. Ajaran-ajaran ini mengunggah prinsip hidup yang menempatkan diri di dalam dunia sosial yang wajar dan bermartabat.

Andhap asor, secara kebahasaan berarti rendah hati dan sopan santun. Ungkapan ini juga dikaitkan dengan istilah seperti lembah manah lan andap asor, yang berarti rendah hati dan sopan santun.

Sopan santun merupakan ajaran yang sangat baik. Sopan santun sesungguhnya akan memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat kesopanan kita di dalam relasi sosial. Melalui sikap dan tindakan yang menggambarkan kesopanan, maka orang lain dapat menilai siapa sesungguhnya kita.

Kakek, para leluhur dan ayah, mengajarkan dan selalu mengingatkan tanpa henti tentang indikator untuk mengetahui bagaimana sikap dan tindakan orang lain. Contoh sederhana, misalnya  dari cara berjalan, cara duduk, cara berbicara, gerak  gesturnya dan cara memasuki ruang yang sudah ada orang di dalamnya. Semua ini dijadikan sebagai indikator tingkat kesopanan.

Saya diajarkan sejak kecil misalnya jika duduk di bawah atau lantai tanah, maka duduknya mestilah bersila, bisa jadi ini berasal dari kata susila atau kepatutan. Jika melewati tempat orang duduk atau berdiri, maka akan menjulurkan tangannya ke bawah dengan punggung membungkuk dan biasanya diikuti dengan pernyataan; “punten atau nyuwun  sewu” atau  atau mohon ijin. Ini merupakan perilaku yang selalu mengedepankan kerendahan pikiran dan hati.

Makanya, di dalam makam-makam keramat, seperti para wali, termasuk Petilasan Sunan Gunung Jati, pintu masuk ke dalam area makam berukuran rendah, sebagai perlambang agar orang merunduk atau menunduk sebagai bagian dari tata krama atas orang yang dituakan atau para kekasih Allah. Semua melambangkan agar manusia memiliki tata krama dalam relasinya dengan orang yang lebih tinggi derajat taqwanya kepada Allah SWT.

Islam mengajarkan tentang ajaran tawadhu’ atau rendah hati bukan rendah diri. Orang yang rendah hati tidak menganggap bahwa dirinya yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa dan seterusnya. Akan tetapi dia tetap berada di dalam konteks kemanusiaan yang serba dhaif atau lemah tetapi bukan tidak berdaya. Lemah karena sesungguhnya kekuatan yang paling tinggi adalah milik Allah semata. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah SWT.

Di dalam syarah shahih Muslim (Imam An Nawawi)  dinyatakan bahwa “sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu, sehingga seseorang merasa bangga lagi sombong terhadap orang lain dan juga tidak berlaku aniaya kepada orang lain”. Hadits ini memberikan gambaran bahwa orang Islam  itu seharusnya rendah hati dan tidak melakukan kesombongan terhadap orang lain. Orang Islam mesti harus sadar bahwa dirinya  tidaklah memiliki apa-apa jika Allah mencabut kekuatan fisik dan akalnya , bahkan ilmu dari dirinya.

Orang yang tawadhu’ tidak pernah menyombongkan diri, tidak pernah menganggap dirinya paling hebat dan tidak beranggapan bahwa dia tahu segalanya. Sebagai manusia pengetahuan kita sangat terbatas. Bahkan kita tidak tahu ada apa dibalik dinding sebelah kita duduk. Hanya orang khusus yang diberikan pengetahuan oleh Allah SWT karena kedekatannya atau taqarrubnya. Para waliyullah atau para ulama atau kyai yang memiliki kedekatan khusus kepada Allah SWT melalui riyadhohnya saja yang berpeluang diberikan pengetahuan lebih di atas manusia lainnya.

Di dalam dunia empiris kita mengetahui ada orang-orang yang mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia lain. Mereka merupakan golongan orang yang weruh sakdurunge winarah atau mengetahui sesuatu tanpa dipelajari atau diberitahukan sebelumnya.

Sebab itu,  sudah sepatutnya kita  tetap berada di dalam konteks kehidupan yang menjaga kesopanan dalam relasi dengan dunia sosial kita yang kompleks. Sesungguhnya manusia itu berharga jika menghargai orang lain, dan manusia tidak berharga jika selalu memandang rendah orang lain. (*).

 

Bagikan:

Tinggalkan Balasan