Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menyatakan Covid-19 sebagai pandemi. Pertama kali ditemukan di Wuhan, Tiongkok, di akhir Desember lalu, Covid-19 adalah virus baru korona yang gelanya menyerupai flu dan pneumonia.

LINGKAR INDONESIA – Kabar Internasional. Pada 12 Maret 2020, jumlah orang yang terinfeksi sudah melampaui 100.000 orang di seluruh dunia, dengan 100 lebih negara sudah melaporkan kasus virus ini.

Di Amerika Serikat, respon terhadap pandemi ini sangat lambat. Laporan pertama kasus virus ini muncul di Seattle, lalu menyebar ke hampir semua negara bagian AS. Ditambah lagi, media sayap kanan arus utama turut berkontribusi membuat pemerintah lamban mengendalikan peningkatan jumlah orang yang terinfensi oleh virus ini.

Misalnya, media seperti Fox News, akun dan halaman medsos sayap kanan, dan selebriti sayap kanan, yang menyebarkan misinformasi, xenophobia, dan teori konspirasi terkait virus Covid-19 ini.

Pada umumnya, isu yang muncul dari teori-teori konspirasi ini mengarah pada ketakutan dan kecemasan khas sayap kanan terkait globalisasi, multikurisme, dan usaha menutup-nutupi fakta.

Teori konspirasi soal virus korona beragam. Mulai dari tudingan bahwa virus itu adalah senjata biologis yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Tiongkok; itu adalah konspirasi yang sengaja dibuat oleh partai Demokrat AS untuk mencegah Donald Trump terpilih lagi; dan CIA menciptakan virus untuk melemahkan kekuatan Tiongkok.

Teori konspirasi yang lagi beredar luas, terutama yang dipicu oleh QAnon (teori konspirasi sayap kanan pendukung Trump di internet) yang beredar di Yuotube, bahwa pandemic Covid-19 diciptakan oleh Pirbright Institute di Inggris dan Bill Gates, mantan CEO Microsoft.

Pada umumnya, isu yang muncul dari teori-teori konspirasi ini mengarah pada ketakutan dan kecemasan khas sayap kanan terkait globalisasi dan multikulturisme. Juga teknik “cover-ups”, yaitu upaya menutupi usaha rakyat menemukan kebenaran/fakta, dengan dongen tentang “tatanan dunia baru”.

Kemudian, analisis twitter menemukan sejumlan akun bot yang sengaja menyebarkan informasi palsu tentang virus dan pandemi itu. Semua itu semakin menyakinkan ekstrem kanan yang percaya pada teori konspirasi, bahwa media-lah yang terlalu membesar-besarkan, melantangkan, soal virus ini.

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, aktif meretweet dan dan berbagai informasi yang terang-benderang palsu tentang Covid-19, terutama soal AS telah menghambat virus dan terkait jumlah kematian.

Teori konspirasi, misinformasi, dan propaganda memang selalu menyebar dalam berbagai kasus pandemi. Entah karena putus asa untuk memahami atau memaknai kekacauan di sekitar mereka, orang-orang berusaha menemukan “biang kerok” atau “orang/sesuatu” yang patut dipersalahkan dalam penyebaran wabah penyakit.

Apa yang kita lihat hari ini tidak jauh beda dengan pengalaman orang-orang di masa lalu merespon wabah. Namun, apa yang berbeda sejak pandem virus flu babi (H1N1) dan sekarang bukan jumlah kasus dan negara yang terdampak virus, melainkan evolusi medsos dan ekosistem online ekstrem kanan.

Jadi, mengamati diskusi atau wacana tentang pandemi ini di media sosial yang digunakan oleh ekstrem kanan sangat penting untuk mengecek bagaimana wacana ini berkembang dalam beberapa bulan mendatang.

Operasi Kesehatan “Deep State”

Covid-19, seperti pandemi lainnya, telah dipolitisasi oleh ekstrem kanan di AS dan seluruh dunia untuk mengobarkan api sino-phobia (anti-Tionghoa), kebencian terhadap kiri, dan xenophobia terhadap imigran.

Perbedaan mencolok antara media kanan dan sumber resmi (seperti WHO) bisa dilihat pada bagaimana mereka menamai virus ini. Misalnya, di Fox News  ada orang seperti Tucker Carlson dan Laura Ingraham yang berkali-kali menyebut covid-19 sebagai “Cina coronavirus” atau “flu Wuhan”.

Penamaan ini menunjukkan bagaimana media menggunakan pandemi untuk menstigma kelompok masyarakat tertentu. Ektrem kanan kemudian memanfaatkan figure-figur media ini untuk membenarkan pembangunan tembok di perbatasan, mengentikan imigrasi, dan meremehkan ketergantungan AS terhadap ekonomi Tiongkok.

Penelitian menunjukkan, teori konspirasi selalu tumbuh subur di masa krisis, sebagai sarana untuk mengambil kontrol atas situasi dunia yang kacau. Mereka ingin mengambil hati kelompok orang-orang yang paling tak berdaya dan tak tertolong, sehingga termakan teori konspirasi.

Kampanye kabar palsu saat ini digunakan untuk mengambil keuntungan dalam situasi tanpa kepastian, dengan merangkul rakyat dengan versi kebenaran mereka demi tujuan jahat. Sehingga, dalam situasi seperti ini, mengoreksi kabar palsu sangat sulit, bahkan tak mungkin.

Siklus berita yang 24 jam, ditambah lagi metode clickbait (judul yang sensasional dan kontroversial untuk mengundang pembaca), membuat setiap upaya memerangi berita palsu menjadi sulit, bahkan terkadang jadi bumerang.

Bagaimana pun, rumor dan kabar palsu menemukan tempat yang paling baik untuk berkembang biak di tengah situasi kesusahan hidup dan ketidakpastian. Selain itu, kebutuhan manusia untuk mendapat penjelasan atas keadaan dunia dan dirinya, merupakan penjelasan kenapa rumor dan kabar bohong selalu ada di tengah masyarakat.

Selama pandemi, ketidakberdayaan dan kurangnya pertolongan terhadap rakyat diperburuk oleh fakta bahwa manusia menghadapi musuh yang tak terlihat (tidak kasat mata). Sebagi gantinya, orang kemudian berusaha mendefenisikan virus secara “fisik”. Ujungnya, mereka kemudian melimpahkan kesalahan kepada apa yang dianggap nyata. Dalam konteks AS, figur atau sosok yang kerap dipersalahkan, bahkan berulangkali diserang, adalah orang Asia dan partai Demokrat.

Di sini, kata “diserang” bermakna harfiah. Di AS, laporan terkait serangan fisik dan diskriminasi terhadap orang Asia maupun Asia-Amerika meningkat selama krisis pandemi korona ini.  Bagi sayap kanan, pandemi korona ini telah menebalkan keyakinan orang-orang yang sedari dulunya rasis terhadap orang Asia, yang dalam bentangan sejarah disebut sebagai “bahaya kuning” yang akan menyerang dan menghancurkan Amerika.

Romor, kabar bohong, dan teori konspirasi terkait pandemi korona bukan hanya mereifikasi (membangkitkan cara pandang yang sudah berkalang-tanah) cara pandang lama orang-orang barat terhadap Asia. Tetapi juga, penyajian dan penyebaran informasi palsu secara berulang-ulang, terus-menerus, akan seperti yang disampaikan Joseph Goebbels: kebohongan yang terus diulang-ulang akan dianggap kebenaran.

Politisasi Covid-19 oleh ekstrem kanan, bagaimana pun, menunjukkan bagaimana model wacana semacam ini berfungsi sebagai narasi untuk memperkuat identitas kelompok sekaligus mendefenisikan musuh bersama. Dan itu mewakili pandangan dunia yang pernah ada dalam sejarah.

Saat ini, kita sedang menyaksikan dampak langsung dari penyebaran berita bohong ini lewat kampanye berbasis kabar bohong yang disebar media dan sayap kanan, tanpa respon memadai dari pemerintah AS.

Meskipun rumor dan teori konspirasi masih sebagai sarana untuk memperkuat perasaan kolektif sayap kanan, ini hanya soal waktu bahwa pandemi covid-19 akan digunakan sebagai senjata politik lebih jauh dan lebih luas lagi.

Penulis :  JULIA DECOOK, seorang spesialis yang fokus mengamati gerakan ekstrimis online; menerima gelar Doktornya di Michigan State University dan saat ini menjadi Asisten Professor di Loyola University Chicago

Artikel aslinya dalam bahasa Inggris dimuat oleh openDemocracy

Bagikan:

Tinggalkan Balasan